Kamis, 17 Januari 2008

Juragan Tomat


Juragan Tomat
Ketika memulai usaha, ia hanya mengupayakan lahan sewa dua hektar untuk ditanami sayuran. Kini ia sudah memiliki kebun seluas 50 hektar yang dijadikan ladang meraup rezeki.

Itulah H. Syahid Al Barkah, pemilik PD Berkah Tani, di Cisarua, Cimahi, Jawa Barat. Pria kelahiran Desa Tugu Mukti, Cisarua, 5 Maret 1960 ini, sampai sekarang tetap eksis berbisnis sayuran, khususnya tomat di kawasan perbukitan Cisarua. “Di sini (Cisarua, Red.) memang cocok untuk usaha sayuran. Lantaran itu, saya pun jadi petani. Selain pekerjaan itu sesuai dengan kemampuan, saya memilih jadi petani karena nggak bisa jadi pegawai negeri,” kilahnya merendah ketika ditemui AGRINA di rumahnya. Namun, ayah empat anak dan satu cucu ini tidak menyangkal namanya jadi beken di desanya berkat sayuran.

Cerdik
H. Syahid memang cerdik. Walaupun hanya tamatan SD, ia jeli menangkap peluang usaha. Ketika warga Desa Tugu Mukti masih banyak yang berkutat dengan padi, dirinya justru memilih sayuran. “Kalau semuanya menanam padi, siapa yang akan menanam tomat?” celotehnya sambil tertawa. Bertani sayuran juga, berdasarkan pengalaman orang tuanya, lebih menguntungkan ketimbang padi. “Per hektar padi paling menghasilkan lima ton. Sedangkan sayuran bisa puluhan ton, dan harganya lumayan bagus,” imbuhnya.
Tergiur keuntungan besar, pada 1980, selepas berumahtangga, ia menancapkan tekad untuk mandiri bertani sayuran. Lahan yang diupayakannya hanya dua hektar. Itu pun sebagian milik orang tua dan mertuanya, sebagian lagi sewa. Komoditas yang diusahakan beragam, kentang, kubis, bunga kol, tomat, cabai, dan buncis.
Dibantu tiga orang karyawan, usai shalat subuh, H. Syahid sudah bergegas menuju kebun supaya benar-benar mengerti cara bertani. Semangatnya untuk meraih sukses mengalahkan dinginnya hawa pagi yang menusuk tulang. Kerja keras Syahid muda membuahkan hasil. Dari sehektar kebun yang ditanami tomat varietas Precious (TW), diperoleh 50—60 ton. Dengan harga Rp1.000/kg, waktu itu, ia bisa mengantongi Rp50 juta—Rp60 juta. Sementara biaya produksi yang dikeluarkan sekitar Rp10 juta—Rp15 juta/ha. “Alhamdulillah, sekali panen sudah kembali modal,” akunya.

Bertahap
Seiring berjalannya waktu, H. Syahid pun bertambah pengalaman, keberhasilan demi keberhasilan terus diraihnya. Pada 1983, ia sudah mampu membeli rumah. Padahal sebelumnya masih numpang di “pondok mertua indah”.
Lahan garapan pun bertambah. “Dulu, di sini (Desa Tugu Mukti, Red.) banyak tanah milik orang kaya atau juragan. Sedikit demi sedikit, saya beli dari mereka. Dan sekarang Alhamdulillah hampir semua tanah juragan itu dibeli oleh keluarga Pak Haji,” ia menyebut dirinya Pak Haji.
Saat ini, kebun milik keluarga H. Syahid mencapai 50 ha yang hanya ditanami tomat, cabai, bunga kol, dan buncis. “Sekarang saya fokus kepada komoditas yang memiliki nilai jual dan permintaan lebih baik,” dalihnya.
Untuk mengelola kebun seluas itu, ia dibantu 50 karyawan. Ditambah 20 orang untuk pengemasan hasil panen. Kalau digabung dengan karyawan yang ada di keluarga, jumlahnya 200 orang. Sebab, anak sulung Pak Haji juga ikut terjun di agribisnis sayuran.
Dengan ketekunan dan kesungguhan dalam beragribisnis, kehidupan H. Syahid kian makmur. Sekarang ia menempati sebuah rumah besar dan paling mewah di desanya. Di sana nongkrong dua mobil pribadi Honda New CRV. Belum lagi beberapa kendaraan truk dan mobil pick up untuk memasarkan sayuran. Anaknya yang nomor dua pun kini sedang menuntut ilmu di Fakultas Peternakan Unpad, Bandung.

Inovatif
H. Syahid mengakui, meraih sukses perlu kesungguhan dan kerja keras. Dalam budidaya pun perlu mengikuti perkembangan teknologi. Ia mencontohkan, ketika mulai usaha, jenis tomat yang diusahakan adalah varietas lokal, seperti gondol. Menanamnya pun tidak memanfaatkan mulsa plastik. Mulai 1990-an ia beralih memilih benih unggul hibrida. “Sekarang, untuk tomat, saya menggunakan varietas unggul Arthaloka produksi Cap Panah Merah,” tandasnya. Selain produksinya tinggi, jenis tomat ini pun tahan terhadap penyakit layu fusarium.
Sistem budidaya juga diubah, dari konvensional menjadi intensif menggunakan mulsa plastik. Manfaat mulsa, menurut dia, mengendalikan rerumputan dan menekan biaya produksi. Usai tanam tomat, mulsa tidak diganti, tapi langsung dimanfaatkan untuk tanaman berikutnya.
H. Syahid menyadari, agribisnis sayuran bukan tanpa hambatan. Selain rentan terhadap serangan hama penyakit, harga sayuran pun berfluktuasi.
Untuk mencapai produksi optimum, ia menggunakan benih unggul, mengaplikasikan pestisida, menerapkan pemupukan berimbang berupa pupuk majemuk lengkap dengan unsur mikronya. “Pemakaian pupuk kimia bisa ditekan dari 2 ton/ha menjadi 1,5—1,7 ton/ha,” jelasnya. Ia juga menambahkan pupuk kandang yang diambil dari kotoran 40 ekor sapi perah miliknya.
Sedangkan untuk menyiasati naik turunnya harga, H. Syahid menerapkan sistem polikulur. Tomat ditumpangsarikan dengan cabai keriting. Habis tomat, menanam bunga kol. Usai cabai keriting dan bunga kol, disusul menanam buncis. Dengan cara itu, dirinya tak rugi-rugi amat ketika tahun ini harga tomat anjlok.
Lebih jauh ia membeberkan perhitungannya dalam praktik tumpangsari. Biaya untuk tomat memang tinggi, Rp2.000—Rp2.500/tanaman (Rp40 juta—Rp50 juta/ha), termasuk gaji karyawan). Namun biaya usaha tani bunga kol dan cabai keriting hanya Rp10 juta—Rp15 juta/ha. Sebab, tidak ada lagi biaya pengolahan tanah, pupuk kandang, maupun mulsa.

Pasar Lokal
Dari sistem tumpangsari itu, H. Syahid dapat memanen 50 ton tomat/ha, cabai keriting 10—15 ton/ha, buncis 15—20 ton/ha, dan bunga kol 30 ton/ha. Seluruh produksi dari PD Berkah Tani dipasarkan di dalam negeri, yaitu Pasar Cibitung, Bekasi dan Pasar Induk Kramatjati Jakarta. Ia belum mencoba pasar ekspor lantaran belum punya koneksi dan merasa belum mampu memenuhi produksi. Di luar itu, ia juga mengirim sayuran ke Nagoya, Batam dan Pontianak, Kalbar. Setiap minggu, 42 ton tomat dan 4 ton cabai dipasok ke kedua kota itu.
Tidak seperti umumnya petani, H. Syahid tekun melakukan pascapanen terhadap hasil budidayanya. Sebelum dikirim ke tujuan pasar, sayuran itu lebih dulu dipilah, dibagi berdasarkan mutunya, lalu dikemas. Meski ada tambahan biaya untuk itu, ia menikmati harga lebih bagus.
Menurut perhitungan AGRINA, dengan harga jual tomat Rp2.000/kg saja, petani maju itu memperoleh laba kotor Rp100 juta/ha (Rp5 miliar/50 ha). Belum ditambah hasil penjualan cabai keriting, buncis, dan bunga kol. Tapi itulah H. Syahid, walaupun sudah menjelma menjadi juragan sayuran, penampilannya tetap bersahaja.

Dadang WI, Selamet Riyanto

Tidak ada komentar: